Rangkaian pemilu legislatif hingga hari ini belum final. Penghitungan suara masih terus berlangsung. Berbagai konflik seputar penghitungan suara juga hampir setiap hari kita dengar dan kita baca di media. Sementara itu, berbagai kejanggalan dan indikasi pelanggaran pemilu sedang diinventarisasi untuk ditindaklanjuti.


Berbagai kejadian, kasus, serta konflik selama proses pemilu legislatif harus menjadi pelajaran bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu dan seluruh rakyat Indonesia agar tidak terulang dalam pemilihan presiden serta wakil presiden nanti.

Pemilu presiden mendatang merupakan pemilihan presiden pertama yang dilakukan secara langsung. Seluruh bangsa Indonesia tentu menginginkan pemilihan presiden secara langsung tersebut berjalan lancar dan berhasil. Lancar secara teknis dengan seminim mungkin kendala dan berhasil menetapkan pemimpin bangsa yang benar-benar sesuai keinginan rakyat serta kebutuhan bangsa Indonesia. Hal itu adalah penting. Mengingat, pemilu presiden secara langsung yang pertama ini akan menjadi preseden bagi pemilu-pemilu berikutnya.

Dengan belajar dari pemilu legislatif yang telah berlalu, untuk bisa menghasilkan pemilihan presiden dan wakil presiden berkualitas, diperlukan setidaknya dua macam pengawasan. Pertama, pengawasan teknis. Tujuannya, agar segala kendala teknis yang bisa menghambat proses pemilu dan mengurangi esensi demokrasi dalam pemilu bisa diminimalkan.

Misalnya, pendaftaran pemilih. Sebagaimana diketahui, dalam pemilu legislatif yang lalu, pendaftaran pemilih sangat kacau. Banyak orang yang seharusnya mendapatkan hak untuk memilih kehilangan haknya dan tidak mendapatkan kartu pemilih karena tidak terdaftar sebagai pemilih.

Sebaliknya, banyak orang yang sudah meninggal atau masih di bawah umur mendapatkan kartu pemilih. Untuk mengatasinya, KPU harus segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah hingga ke RW/RT untuk lebih akurat mendata ulang.

Hal teknis lain adalah pengadaan serta distribusi logistik yang dalam pemilu legislatif sangat kacau. Dalam pemilu presiden mendatang, KPU harus menjamin pengadaan dan distribusi logistik yang lebih baik.

Dalam pemilu presiden mendatang, KPU juga harus meningkatkan koordinasi dengan petugas PPS serta aparat lainnya agar seluruh proses pemilihan tidak dimanfaatkan anggota-anggota yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kecurangan. Misalnya, manipulasi suara serta intimidasi dan pembelian suara.

Kedua, pengawasan subtansif. Kondisi Indonesia kini membutuhkan sosok pemimpin yang dipercaya rakyat, jujur, bersih dari virus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta memiliki kekuatan dan ketegasan untuk mengembalikan harga diri bangsa Indonesia, baik di mata mafia serta tikus-tikus hukum yang menggerogoti Indonesia dari dalam maupun terhadap bangsa lain yang ingin menancapkan kuku-kuku intervensi kepada pemerintah Indonesia.

Karena itu, pemilu presiden harus melahirkan kepemimpinan yang sesuai keinginan rakyat dan kebutuhan bangsa. Seluruh rakyat harus memperhatikan track record semua calon presiden serta wakil presiden agar calon yang memiliki track record buruk seperti pelanggar HAM, pelaku maupun pendukung korupsi, serta calon yang tidak berpihak kepada rakyat tidak terpilih sebagai pemimpin bangsa.

Rakyat bersama-sama LSM dan mahasiswa juga harus mengawasi agar manipulasi track record calon tidak terjadi. Sehingga, yang hitam harus tetap terlihat hitam dan yang putih tetap putih. Pengawasan juga harus bisa menghadang agar calon yang menggunakan cara-cara kekerasan, intimidasi, maupun politik uang tidak lolos menjadi pemimpin bangsa.

Selain itu, janji-janji politik yang disampaikan calon-calon presiden maupun wakil presiden harus diperhatikan bahkan dicatat untuk dimintakan pertanggungjawaban jika mereka nanti benar-benar terpilih. Bangsa Indonesia sudah bosan dengan janji-janji atau bualan-bualan politik yang akhirnya dilupakan, bahkan dikhianati dan diselewengkan saat mereka benar-benar duduk di kursi kekuasaan.

Pemilu kali ini sangat menentukan wajah Indonesia masa depan. Selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan proses pemilu sangat bergantung pada hitam putih proses pemilu dan produk-produknya. Pengawasan pemilu seperti itu harus melibatkan seluruh komponen masyarakat sesuai peran masing-masing. Yakni, mahasiswa, NGO, lembaga pengawas pemilu, bahkan rakyat pemilih sendiri.

Dengan mekanisme pengawasan yang menyeluruh dan melibatkan seluruh komponen masyarakat, kualitas pemilu, baik secara teknis maupun subtantif, bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, pemilu bisa benar-benar menjadi solusi permasalahan bangsa, bukan justru menjadi bagian dari permasalahan

 

[dipublikasikan di Jawa Pos 2004]


In one of his lesson, Ali Syari’ati said that human being face four kinds of cages in their life. One of these cages is nature. Human being used knowledge to broke the nature-cage. With knowledge, people create technology so they could broke all limitation created by nature. With technology people create better housing than cave so we had better protection from any weather condition. With technology people create electricity that help our life much. People use technology to create lamps, so we could fight the origin darkness of the night. Technology also made people could develop cellular, television, internet and any other technology that familiar with our today living and broke almost all limitation made by nature.

But today we could see that the relation between human being and technology reach a worse position. People can not life without technology. People become addicted to the technology they made and they live with. Modern people can not imagine living without electricity, or cellular, or even television or computer. With this condition, could we say that technology would free us from nature-limitation-cage ? or it has became the new cage for human being ?




Categories